Minggu, 29 November 2015

Perkembangan Etika Bisnis dan Profesi Abad 21

Perkembangan Etika Bisnis di Indonesia.
Etika bisnis dapat dikatakan baru berkembang dalam satu dua dasawarsa terakhir ini. Jika dibandingkan dengan etika khusus lainnya sebagai cabang etika terapan, seperti etika politik, dan kedokteran, etika bisnis dirasakan masih sangat baru. Dengan semakin gencarnya pembicaraan mengenai etika bisnis di masyarakat bersama dengan hidupnya kegiatan bisnis di negera kita, mulai disadari bahwa etika bisnis perlu mendapatkan perhatian yang lebih besar, khususnya dalam kerangka perilaku bisnis di Indonesia.

Disadari bahwa tuntutan dunia bisnis dan manajemen dewasa ini semakin tinggi dan keras yang mensyaratkan sikap dan pola kerja yang semakin profesional. Persaingan yang makin ketat juga juga mengharuskan pebisnis dan manajer untuk sungguh-sungguh menjadi profesional jika mereka ingin meraih sukses. Namunyang masih sangat memprihatinkan di Indonesia adalah bahwa profesi bisnis belum dianggap sebagai profesi yang luhur. Hal ini disebabkan oleh pandangan masyarakat yang menganggap bahwa bisnis adalah usaha yang kotor. Itulah sebabnya bisnis selalu mendapatkan konotasi jelek, sebagai kerjanya orang-orang kotor yang disimbolkan lintah darat yaitu orang yang mengeruk keuntungan secara tidak halal menghisap darah orang lain. Kesan dan sikap masyarakat seperti ini sebenarnya disebabkan oleh orang-orang bisnis itu sendiri yang memperlihatkan citra negatif tentang bisnis di masyarakat. Banyak pebisnis yang menawarkan barang tidak bermutu dengan harga tinggi, mengakibatkan citra bisnis menjadi jelek. Selain itu juga banyak pebisnis yang melakukan kolusi dan nepotisme dalam memenangkan lelang, penyuapan kepada para pejabat, pengurangan mutu untuk medapatkan laba maksimal, yang semuanya itu   merupakan bisnis a-moral dan tidak etis dan menjatuhkan citra bisnis di Indonesia.

Rusaknya citra bisnis di Indonesia tersebut juga diakibatkan adanya pandangan tentang bisnis di masyarakat kita, yaitu pandangan praktis-realistis dan bukan pandangan ideal. Pandangan praktis-realistis adalah pandangan yang bertumpu pada kenyataan yang berlaku umum dewasa ini. Pandangan ini melihat bisnis sebagai suatu kegiatan di antara manusia untuk memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan. Pada pandangan ini ditegaskan secara jelas bahwa tujuan dari bisnis adalah mencari laba. Bisnis adalah kegiatan profit making, bahkan laba dianggap sebagai satu-satunya tujuan pokok bisnis. Dasar pemikiran mereka adalah keuntungan itu sah untuk menunjang kegiatan bisnis itu. Tanpa keuntungan bisnis tidak mungkin berjalan. Friedman dalam De George (1986) menyatakan bahwa dalam kenyataan keuntunganlah yang menjadi satu-satunya motivasi dasar orang berbisnis. Karena orang berbisnis inginmencari keuntungan, maka orang yang tidak mau mencari keuntungan bukan tempatnya di bidang bisnis. Inilah suatu kenyataan yang tidak bisa disangkal. Lain halnya dengan pandangan ideal, yaitu melakukan kegiatan bisnis karena dilatarbelakangi oleh idealisme yang luhur.

Menurut pandangan ini bisnis adalah suatu kegiatan di antara manusia yang menyangkut memproduksi, menjual dan membeli barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Dasar pemikiran mereka adalah pertukaran timbal balik secara fair, di antara pihak-pihak yang teribat. Maka yang ingin ditegakkan adalah keadilan kumulatif dan keadilan tukarmenukar yang sebanding. Konosuke Matsushita dalam Lee dan Yoshihara (1997) yang menyatakan bahwa tujuan bisnis sebenarnya bukanlah mencari keuntungan, melainkan untuk melayani masyarakat. Sedangkan keuntungan adalah simbol kepercayaan masyarakat atas kegiatan bisnis yang kita lakukan. Fokus perhatian bisnis adalah memberi pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan kita akan memperoleh keuntungan dari pelayanan tersebut. Pandangan bisnis ideal semacam ini, bisnis yang baik selalu memiliki misi tertentu yang luhur dan tidak sekedar mencari keuntungan. Misi itu adalah meningkatkan standar hidup masyarakat, dan membuat hisup manusia menjadi lebih manusiawi melalui pemenuhan kebutuhan secara etis.

Melihat pandangan bisnis di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa etika bisnis di Indonesia masih jelek. Citra jelek tersebut disebabkan oleh pandangan pertama yang melihat bisnis hanya sebagai sekedar mencari keuntungan. Tentu saja mencari keuntungan sebagaimana dikatakan di atas. Hanya saja sikap yang timbul dari kesadaran bahwa bisnis hanya mencari keuntungan telah mengakibatkan perilaku yang menjurus menghalalkan segala cara demi mencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa mengindahkan nilai-nilai manusiawi lainnya seperti adanya persaingan tidak sehat, monopoli, kecurangan, pemalsuan, eksploitasi buruh dan sebagainya. Keuntungan adalah hal yang baik dan perlu untuk menunjang kegiatan bisnis selanjutnya, bahkan tanpa keuntungan, misi luhur bisnis pun tidak akan tercapai. Persoalan dihadapi di sini adalah bagaimana mengusahakan agar keuntungan yang diperoleh itu wajar-wajar saja, karena yang utama adalah melayani dan memenuhi kebutuhan masyarakat dengan tidak merugikan pihakpihak yang terkait dalam bisnis ini. Perkembangan etika bisnis di Indonesia yang demikian itu, nampaknya hingga sekarang masih jauh dari harapan.

Dampak Negatif Akibat Implementasi Bisnis yang Tidak Etis di Indonesia
Pada dunia bisnis, upaya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya merupakan hal yang wajar. Bahkan upaya ini akan menyemarakkan keseluruhan sistem perekonomian nasional, dalam arti keuntungan yang sebesarbesarnya didapatkan dengan melaksanakan berbagai kegiatan yang akan mempengaruhi perekonomian. Namun sayangnya dalam kenyataan upaya mendapatkan keuntungan tersebut cenderung mengabaikan etika bisnis.

Keuntungan yang besar diperoleh dengan mengorbankan faktor-faktor bisnis lainnya. Perilaku bisnis yang tidak etis untuk mendapatkan keuntungan maksimum akan berdampak sebagai berikut.
1. Upah dan kesejahteraan karyawan menurun. Seperti diketahui bahwa salah satu ukuran yang digunakan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya adalah memaksimumkan hasil penjualan dan meminimumkan seluruh biaya perusahaan. Upaya meminimumkan biaya perusahaan antara lain dengan menekan upah tenaga kerja. Akibatnya kesejahteraan karyawan menjadi rendah dan tidak sesuai dengan kontribusi kerja yang diberikan karyawan kepada perusahaan. Keadaan tersebut telah melanggar etika bisnis.
2. Mematikan usaha pemasok. Para pengusaha seringkali menekan harga faktor input yang diperoleh dari para pemasok. Selain itu pengusaha cenderung menunda pembayaran. Hal ini akan berakibat mematikan usaha dan mata pencaharian para pemasok. Bahkan beberapa perusahaan besar berupaya mendirikan perusahaan baru atau mengakuisisi perusahaan yang telah ada untuk menggantikan fungsi para pemasok. Keadaan tersebut melanggar etika bisnis, karena etika yang benar adalah mendorong perkembangan para pemasok yang dalam jangka panjang akan menguntungkan perusahaan yang
bersangkutan.
3. Merusak lingkungan. Untuk memaksimumkan keuntungan, masih banyak pengusaha yang cenderung menggunakan input yang yang merusak lingkungan alam. Terutama hal ini terjadi pada sektor usaha dan industri yang berorientasi pada bahan baku dari alam. Selain itu juga proses produksi yang menghasilkan limbah industri yang mencemari lingkungan. Ambisi para pengusaha ini melanggar etika bisnis karena keuntungan yang didapatkan diperoleh dengan mengorbankan lingkungan hidup. Hal ini berarti bahwa keuntungan yang diperolehnya didapat atas korban dari masyarakat lainnya.
4. Merugikan konsumen. Akibat ambisi pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya, masih banyak pengusaha yang merugikan konsumen, antara lain dengan menurunkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan di bawah standar, pengiriman barang yang lambat, dan menaikkan harga barang di atas norma-norma kewajaran. Di dalam etika bisnis hal-hal tersebut melanggar moralitas usaha. Selain itu, penyampaian output hasil usaha kepada para konsumen sering dilaksanakan melalui pedagang perantara atau pengecer untuk memperluas jaringan distribusi. Tindakan akuisisi jaringan pengecer (retailer) untuk kepentingan produsen akan membunuh pedagang eceran dan hal ini melanggar etika bisnis.
5. Membohongi bank dan lembaga pembiayaan lain. Masih banyak para konsultan yang dalam membuat appraisal cenderung menyatakan feaseable, walaupun sebenarnya tidak demikian. Masih banyak penilai yang menaikkan nilai aset yang bertujuan untuk mendapatkan lebih banyak kredit. Masih banyak para akuntan yang tidak jujur. Dengan hal-hal tersebut, maka bank dengan tanpa penelitian seksama memberikan kredit melebihi dari yang seharusnya. Hal inipun merupakan tindakan perusahaan yang melanggar etika bisnis.

Hal-hal di atas merupakan contoh kegiatan yang cenderung melanggar etika bisnis . namun demikian, pada saat ini tidak boleh pesimis dengan kemampuan etika dan moral sebagian pengusaha kita yang berambisi untuk bisnis yang halal dan berkah. Mereka sebagai pengusaha yang patriotik mengajak dan memperingatkan para pengusaha lainnya untuk selalu berlaku etis dan moralis. Asosiasi pengusaha seperti KADIN dapat menjadi  pendorong ke arah pelaksanaan etika dan moral usahawan yang lebih baik untuk itu perlu adanya reorientasi baru di mana para pimpinan harus memahami etika dan moral bisnis yang memadai.

Upaya Pengembangan Implementasi Etika Bisnis di Indonesia
Upaya mengembangkan praktik bisnis yang etis di Indonesia dapat dilakukan melalui berbagai cara yang elegan. Cara-cara tersebut antara lain meliputi:
1. Mengembangkan lingkungan usaha yang etis. Menurut hasil penelitian di Korea dan Jepang, praktik bisnis yang etis sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan keluarga. Pengusaha yang berasal dari lingkungan keluarga yang tidak etis akan menghasilkan usahawan yang tidak etis pula. Etika seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan kelauarga orang tersebutl. Usahawan dari lingkungan keluarga yang baik dan moralis akan menjadi usahawan etis inti, yang diharapkan dapat menyebar kepada usahawan lain. Pemerintah dan asosiasi pengusaha dapat membantu menciptakan lingkungan usaha yang kondusif menuju peningkatan etika dan moral usaha di Indonesia.
2. Menciptakan kredo perusahaan yang etis dan moralis. Peranan kredo perusahaan yaitu nilai-nilai falsafah perusahaan yang tercermin dalam visi dan misi bisnis akan selalu mengingatkan pimpinan perusahaan dan seluruh staf terhadap etika dan moral dalam bisnisnya.
3. Mengembangkan etika melalui pendidikan manajemen. Pendidikan dan latihan manajemen dapat menjadi sarana yang baik dalam peningkatan etika usaha di perusahaan. Di sini perlu ditekankan bahwa pengusaha yang etis dan moralis akan dapat langgeng dalam jangka panjang.

Sumber Referensi
Caccese, Michael,S, 1997. Ethics and Financial Analyst. Journal of Financial Analysis, Januari/February.
De George, Richard T, 1986. Business Ethics. New York: McMilan Publishing Company.
Kennedy, Paul, 1995. Menyiapkan diri menghadapi abad ke-21. Jakarta: Penerbit Yayasan Obor Indonesia.
Keraf, Sony,A,1991. Etika Bisnis: Membangun Citra Bisnis Sebagai Profesi Luhur. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Filsafat.
Lee, Chong Yeong dan Yoshihara,Heideki, 1997. Business Ethics of Korea and Japanese
manager. Journal of Business Ethics16: 7-21.
Nugroho, Rianto, 1996. Obrolan 17 Praktisi Bisnis Indonesia.Jakarta: Penerbit Elex Media Komputindo.
Ohmae, Kinichi, 1995. The End of The Nation State. New York. The Free Press

Tidak ada komentar:

Posting Komentar